Dalam keseharian di sekolah, tentu beragam warna dalam kehidupan hadir
menemani tumbuh dan kembangnya anak-anak di sekolah. Termasuk juga pasti
mewarnai kehidupan para gurunya tanpa terkecuali. Sekolah sebagai rumah kedua
baik bagi para siswa maupun guru-guru selaku pengajarnya, sudah barang tentu
juga akan memberikan suasana yang pasti akan berbeda dengan rumah utama mereka.
Keberagaman yang berasal dari banyak hal yang bermula dari
masing-masing keluarga akan membaur menjadi satu dalam keluarga besar rumah
kedua yaitu sekolah. Dan tentunya, penulis yang berperan selaku pengajar, juga
mendapatkan banyak hal dalam pengalaman dan cerita seru dan menarik yang
senantiasa hadir dan terjadi setiap saat dan setiap waktu. Tidak saja para
siswa yang mendapatkan pembelajaran ini, namun juga kami para pengajar,
khususnya penulis sangat merasa sekolah sebagai laboratorium alami yang
merupakan gudangnya ilmu pengetahuan.
Terhitung sejak medio Januari 2017 silam, Kementarian Agama Kabupaten
Sukabumi telah mendeklarasikan diri menjadi salah satu lemabaga pendidikan yang
concern terhadap pendidikan inklusi. Pendidikan yang mengakomodir semua
murid tanpa terkecuali. Termasuk anak-anak istimewa dengan segala kebutuhan
khususnya.
Pendidikan inklusif yang tengah dinisiasi dan digaungkan dalam wadah
pendidikan yang berada di bawah naungan Kementerian Agama, bagi penulis tidak
hanya sebatas dari bentuk layanan pendidikannya saja yang inklusif. Makna
inklusif yang penulis maknai tentu memiliki spektrum yang lebih luas. Tidak
hanya sebatas model lalayanan pendidikan dan terget layanan inklusifitas.
Hakikatknya kita sebagai individu sudah pasti berbeda. Begitu banyak perbedaan
dan ketidak seragaman yang ada, penulis maknai sebagai keagungan Yang Maha
Kuasa. Sebagai bukti nyata, betapa Allah begitu Maha Kaya dan begitu Maha Hebat
hingga dapat menyajikan keberagaman yang tak terhitung jumlahnya. Lalu apakah
dengan banyaknya keberagaman yang tersaji di depan mata kita, lantas apa yang
harus kita lakukan?
Sebagai seorang pribadi yang masih terus belajar, tentu keberagaman
yang penulis hadapi saat ini juga merupakan salah satu kurikulum nyata yang
juga harus dipahami secara nyata. Salah satu upaya untuk memaknai inklusifitas
dalam kehidupan sehati-hari khususnya saat berada disekolah, penulis punya
bebrapa cara diantaranya dengan cara belajar open mind .
Open mind yang penulis maksud disini adalah, kemampuan dan kemauan dari diri
kita pribadi untuk bisa dan mau menerima adanya perbedaan dengan yang lain.
Dalam hal ini tentu saja bisa dengan rekan sejawat, pun juga dengan para siswa.
Menyadari bahwa masing-masing diri pribadi kita adalah sosok pribadi unik dan
punya sisi menarik masing-masing yang tidak mungkin untuk diseragamkan.
Hal selanjutnya yang harus
selalu kita pahami dan pelajari adalah, kemauan untuk mengakui kelebihan orang lain. Tuhan pasti
telah menciptakan setiap individu hambanya dengan segala kelebihan dan kekurangannya
masing-masing. Dari setiap keunikan individu ini, sebaiknya tidak dijadikan
sebuah persoalan yang tidak menghasilkan manfaat apapun juga.
Perbedaan yang ada, termasuk kelebihan yang dimilik oleh orang lain,
sebaiknya dapat kita akui dan hargai dengan baik. Tidak perlu merasa lebih
terungguli, takut merasa menjadi saingan dan sebagainya. Hala-hal negatif yang
sama sekali tidak membawa nilai kebaikan, hendaknya jangan dipelihara.
Satu hal penting lainnya yang senantiasa kita jaga adlaah, dengan
tidak memaksakan kehendak kepada orang lain. Hal ini dapat kita maknai baik
memaksakan kehendak yang bersifat pemikiran, maupun perbuatan. Cukup dengan
rasa tenggang rasa dan sifat mau menghargai perbedaan yang ada, semoga semangat
inklusifitas yang kita tumbuh dan kembangkan dapat terus bersemayam di
lingkungan sekolah kita.
Adanya keberagaman dan perbedaan yang kita temui dalam kehidupan
sehari-hari tentu sedikitnya menimbulkan permasalahan. Tidak perlu
membesar-besarkan masalah terkait yang namanya perbedaan, namun cukup
menyikapinya dengan sikap dewasa dan bijak.
Lantas dari mana keberhasilan memaknai prinsip inklusifitas dapat
dikatakan berhasil? Tentu harus ada pihak luar yang dapat memberikan nilai
dalam hal ini. Butuh waktu dalam berproses untuk dapat menerjemahkan dan
mengaplikasikannya dalam kehidupan nyata.
Dalam peralanan menerjem,hkan prinsip inklusifitas ini, tentu tidaklah
mudah, namun bukan berarti sesuatu yang tak dapat dicoba.
Dan tentunya sebagai seorang guru dalam menjalani profesi mulia ini,
dan sebagai seorang pribadi, memaknai prinsif inklusifitas semoga tidak saja
hanya sekedar pemanis bibir atau slogan semata. Semoga kita dapat sama-sama
saling bahu membahu berkolaborasi dalam memaknai inklusifitas yang ada. Jangan
sampai niat luhur dan mulia ini hanya berakhir menjadi sebuah slogan semata.
Perbedaan yang kita
hadapi dan kita temui setiap hari, hendaknya mampu menjadi sarana untuk dapat
mendewasakan diri secara elegan. Bukankah memang pada fitrahnya kita setiap
insan adalah berbeda. Bukankah pelangi nampak indah karena perbedaan warna yang
disuguhkannya?
Banyak hal baru yang harus penulis pelajari dalam kurun waktu bersama dengan dunia humas. Sebenarnya bukanlah hal
baru yang penulis kenal tentang dunia kehumasan ini. Namun tetap saja tersa
baru dan berbeda setalah sekian lama tak menyentuh dan berkecimpung di
dalamnya. Lagi-lagi pengalaman di masa lalu ternyata baru terasa manfaatnya di
waktu beberapa waktu kemudian.
Pernah mengenal dunia kehumasan saat masih menjadi seoarng mahasisiwa di
kampus tercinta Univ, Jember. Bahkan penulis sempat dan terbilang lumayan
sering mengikuti beberapa pelatihan dan short course yang diadakan oleh
pihak universitas.
Namun dari pelatihan–pelatihan yang pernah penulis ikuti dan jalani,
apakah lanatas memebuat semua itu terasa mudah layaknya kita berjalan dan
menyusuri jalan tol? Tentu tidak.

Ini lebih panjang dari biasanya Bu .....he
BalasHapusHehehe...lagi nyoba aja
Hapus