Sabtu, 04 April 2020

Bagaimana Menerjemahkan Makna Inklusifitas Dalam Hidup Keseharian?


Dalam keseharian di sekolah, tentu beragam warna dalam kehidupan hadir menemani tumbuh dan kembangnya anak-anak di sekolah. Termasuk juga pasti mewarnai kehidupan para gurunya tanpa terkecuali. Sekolah sebagai rumah kedua baik bagi para siswa maupun guru-guru selaku pengajarnya, sudah barang tentu juga akan memberikan suasana yang pasti akan berbeda dengan rumah utama mereka.
Keberagaman yang berasal dari banyak hal yang bermula dari masing-masing keluarga akan membaur menjadi satu dalam keluarga besar rumah kedua yaitu sekolah. Dan tentunya, penulis yang berperan selaku pengajar, juga mendapatkan banyak hal dalam pengalaman dan cerita seru dan menarik yang senantiasa hadir dan terjadi setiap saat dan setiap waktu. Tidak saja para siswa yang mendapatkan pembelajaran ini, namun juga kami para pengajar, khususnya penulis sangat merasa sekolah sebagai laboratorium alami yang merupakan gudangnya ilmu pengetahuan.
Terhitung sejak medio Januari 2017 silam, Kementarian Agama Kabupaten Sukabumi telah mendeklarasikan diri menjadi salah satu lemabaga pendidikan yang concern terhadap pendidikan inklusi. Pendidikan yang mengakomodir semua murid tanpa terkecuali. Termasuk anak-anak istimewa dengan segala kebutuhan khususnya.
Pendidikan inklusif yang tengah dinisiasi dan digaungkan dalam wadah pendidikan yang berada di bawah naungan Kementerian Agama, bagi penulis tidak hanya sebatas dari bentuk layanan pendidikannya saja yang inklusif. Makna inklusif yang penulis maknai tentu memiliki spektrum yang lebih luas. Tidak hanya sebatas model lalayanan pendidikan dan terget layanan inklusifitas.
Hakikatknya kita sebagai individu sudah pasti berbeda. Begitu banyak perbedaan dan ketidak seragaman yang ada, penulis maknai sebagai keagungan Yang Maha Kuasa. Sebagai bukti nyata, betapa Allah begitu Maha Kaya dan begitu Maha Hebat hingga dapat menyajikan keberagaman yang tak terhitung jumlahnya. Lalu apakah dengan banyaknya keberagaman yang tersaji di depan mata kita, lantas apa yang harus kita lakukan?
Sebagai seorang pribadi yang masih terus belajar, tentu keberagaman yang penulis hadapi saat ini juga merupakan salah satu kurikulum nyata yang juga harus dipahami secara nyata. Salah satu upaya untuk memaknai inklusifitas dalam kehidupan sehati-hari khususnya saat berada disekolah, penulis punya bebrapa cara diantaranya dengan cara belajar open mind .
Open mind yang penulis maksud disini adalah, kemampuan dan kemauan dari diri kita pribadi untuk bisa dan mau menerima adanya perbedaan dengan yang lain. Dalam hal ini tentu saja bisa dengan rekan sejawat, pun juga dengan para siswa. Menyadari bahwa masing-masing diri pribadi kita adalah sosok pribadi unik dan punya sisi menarik masing-masing yang tidak mungkin untuk diseragamkan.
 Hal selanjutnya yang harus selalu kita pahami dan pelajari adalah, kemauan untuk  mengakui kelebihan orang lain. Tuhan pasti telah menciptakan setiap individu hambanya dengan segala kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Dari setiap keunikan individu ini, sebaiknya tidak dijadikan sebuah persoalan yang tidak menghasilkan manfaat apapun juga.
Perbedaan yang ada, termasuk kelebihan yang dimilik oleh orang lain, sebaiknya dapat kita akui dan hargai dengan baik. Tidak perlu merasa lebih terungguli, takut merasa menjadi saingan dan sebagainya. Hala-hal negatif yang sama sekali tidak membawa nilai kebaikan, hendaknya jangan dipelihara.
Satu hal penting lainnya yang senantiasa kita jaga adlaah, dengan tidak memaksakan kehendak kepada orang lain. Hal ini dapat kita maknai baik memaksakan kehendak yang bersifat pemikiran, maupun perbuatan. Cukup dengan rasa tenggang rasa dan sifat mau menghargai perbedaan yang ada, semoga semangat inklusifitas yang kita tumbuh dan kembangkan dapat terus bersemayam di lingkungan sekolah kita.
Adanya keberagaman dan perbedaan yang kita temui dalam kehidupan sehari-hari tentu sedikitnya menimbulkan permasalahan. Tidak perlu membesar-besarkan masalah terkait yang namanya perbedaan, namun cukup menyikapinya dengan sikap dewasa dan bijak.
Lantas dari mana keberhasilan memaknai prinsip inklusifitas dapat dikatakan berhasil? Tentu harus ada pihak luar yang dapat memberikan nilai dalam hal ini. Butuh waktu dalam berproses untuk dapat menerjemahkan dan mengaplikasikannya dalam kehidupan nyata.  Dalam peralanan menerjem,hkan prinsip inklusifitas ini, tentu tidaklah mudah, namun bukan berarti sesuatu yang tak dapat dicoba.
Dan tentunya sebagai seorang guru dalam menjalani profesi mulia ini, dan sebagai seorang pribadi, memaknai prinsif inklusifitas semoga tidak saja hanya sekedar pemanis bibir atau slogan semata. Semoga kita dapat sama-sama saling bahu membahu berkolaborasi dalam memaknai inklusifitas yang ada. Jangan sampai niat luhur dan mulia ini hanya berakhir menjadi sebuah slogan semata.
Perbedaan yang kita hadapi dan kita temui setiap hari, hendaknya mampu menjadi sarana untuk dapat mendewasakan diri secara elegan. Bukankah memang pada fitrahnya kita setiap insan adalah berbeda. Bukankah pelangi nampak indah karena perbedaan warna yang disuguhkannya?
Banyak hal baru yang harus penulis pelajari dalam kurun waktu bersama  dengan dunia humas. Sebenarnya bukanlah hal baru yang penulis kenal tentang dunia kehumasan ini. Namun tetap saja tersa baru dan berbeda setalah sekian lama tak menyentuh dan berkecimpung di dalamnya. Lagi-lagi pengalaman di masa lalu ternyata baru terasa manfaatnya di waktu beberapa waktu kemudian.
Pernah mengenal dunia kehumasan saat masih menjadi seoarng mahasisiwa di kampus tercinta Univ, Jember. Bahkan penulis sempat dan terbilang lumayan sering mengikuti beberapa pelatihan dan short course yang diadakan oleh pihak universitas.
Namun dari pelatihan–pelatihan yang pernah penulis ikuti dan jalani, apakah lanatas memebuat semua itu terasa mudah layaknya kita berjalan dan menyusuri jalan tol? Tentu tidak.




2 komentar:

Belajar Menjadi Pribadi Yang Lebih Baik

#KMP3 Ramadhan baru saja usai. Seiring gema takbir yang berkumandang. Nuansa bahagia menyambut hari yang fitri. Berbagai penganan pun dihi...