Menjadi seorang ibu adalah
sebuah anugerah yang pasti diinginkan oleh setiap perempuan. Apalagi dikarunia
anak yanng sehat tak kurang suatu apapun. Tulisan ini ku buat sebagai dedikasi
tinggi buat ayah bunda diluar sana yang mempunyai anak istimewa.
Tak ada satu pun orang tua
yang membayangkan akan mempunyai anak yang berbeda dari yang lain. Butuh ruang
dan tertentu untuk bisa menerima sebuah anugerah istimewa tersebut. Seperti halnya ibu-ibu muda lainnya saat itu,
menanti sebuah kelahiran tentu menjadi momen yang penuh dengan teka-teki dan
penantian yang menyenangkan sekaligus menegangkan. Namun ternyata waktu
kelahiran itu tak jua kunjung datang. Bahkan hitungan medis pun usia kehamilan
40 minggu masih juga belum menunjukkan tanda-tanda persalinan.
Tidak ingin menangggung
resiko atas keselamatan ibu dan bayi yang tengah dikandung, aku pun melakukan
konsultasi pada dokter tempat ku biasa melakukan cek kehamilan. Dokter
menyarankan untuk mengeluarkan paksa bayi dengan jalan operasi bedah ceasar.
Biaya dan mental pun akhirnya kami siapkan.
Atas saran dari seorang
sahabat, yang kebetulan juga beberapa bulan sebelumnya juga melakukan bedah
cesar, akhirnya aku melakukan pindah
dokter tempat sahabatku juga melakukan tindakan bedah operasi cesar. Aku pun
akhirnya mengunjungi klinik bersalin yang ada di Ibu Kota Kabupaten.
Dari serangkaian konsultasi
dengan dokter kandungan senior di klinik bersalin tersebut, diputuskan untuk
melakukan tindakan induksi. Dokter tersebut tidak langsung memutuskan tindakan bedah,
namun dicoba proses kelahiran normal dengan tindakan induksi terlebih dahulu.
Serangkaian tindakan induksi
ku jalani setiap tiga puluh menit sekali selama 4 kali. Dari pukul 09.00 hingga
pukul 10.00 wib tindakan induksi dengan empat kali suntikan baru berakhir.
Tepat enam jam kemudian, reaksi induksi pun baru bekerja. Dan inikah rasanya
yang namanya melahirkan...
Menanti pergantian waktu
menjelang persalinan seakan-akan jarum jam enggan untuk bergerak. Menit demi
menit pun kunikmati dengan menahan rasa sakit akibat proses induksi yang luar
biasa. Hampir satu jam setengah lamanya kumenahan sakit yang tiada henti,
hingga lahirlah bayi perempuan mungil itu.
Sedikit berbeda dengan
bayi-bayi lain pada umumnya, bayiku tak langsung menangis. Ada sedikit jeda
waktu untuk membuat bayi kecilku menangis. Dari beberapa bacaan yang telah
kupelajari, aku hanya berharap, semoga tidak terjadi apa-apa dengan bayi
mungilku.
Lahir dengan kondisi sehat
tanpa kekuragan satu apapun. Dengan berat 3250 gram dan panjang 50 cm, bayiku
nampak sama dengan bayi-bayi lain yang ada diruang perawatan bayi.
Yang sedikit membedakan
hanyalah, dia tak langsung menangis saat kulahirkan dan banyaknya tanda lahir
yang ada di badan mungilnya. Tanda lahir merah dan hitam yang ada di badan
kecilnya.
Selang beberapa hari setelah
pemullihan di klinik bersalin tersebut, aku pun diperbolehkan pulang.
Hari berganti minggu, minggu
berganti bulan, bayi kecilku tumbuh sehat seperti bayi-bayi yang lain. Menginjak usia satu tahun belum ada tanda-tanda
anakku akan segera berjalan. Teman-teman seusianya mulai banyak yang belajar
jalan. Hingga usia anakku 22 bulan, barulah ia berani berjalan. Banyak
pengobatan tradisional dan dokter yang kami tempuh untuk mengupayakan anakku
cepat berjalan. Namun semua mengatakan memang belum waktu nya.
Sebagai seorang ibu, tentu
menjadi pekerjaan rumah tersendiri dan menjadi pemikiran akan hal ini. Tanganku
hanya 2, tak mungkin mampu menutup mulut banyak orang yang begitu mudah
memvonis atas keterlambatan anakku berjalan.
Anakku memang terlambat
berjalan, namun aku yakin dia punya satu keistimewaan lain, yang mungkin anak
lain tak memilikinya.
Sedari kecil aku mengajarinya
untuk mengenal huruf. Saat itu yang ada dalam benakku adalah, biarlah anakku
belum bisa lari melihat dunia saat ini, namun ia akan tetap dapat lari
menikamati dunia melalui bacan-bacannya. Sejak saat itu aku rajin mengajarinya
mengenal huruf, kata dan kalimat.
Dari apa yang aku ajarkan
sedari ia bayi, sepertinya meninggalkan jejak ketika ia mulai memasuki bangku
sekolah. Diusianya memasuki 4 tahun, aku memasukkanya ke bangku taman
kanak-kanak. Tiga bulan pertama ia masuk dibangku taman kanak-kanak, gadis
kecilku itu telah pandai membaca. Rangkaian kata menjadi kalimat bukan hal aneh
lagi dimatanya.
Maka tak heran, ketika
teman-temannya baru mengenal abjad, gadis kecilku sudah mulai membaca salah
satu majalah anak-anak yang cukup ternama di negeri ini.
Lagi-lagi aku menganggap
orang begitu mudah dalam memvonis sesuatu. Diusianya yang berangsur besar,
kondisi badannya tak lagi sebesar saat ia balita. Badannya yang kecil tinggi,
sempat divonis kurang gizi oleh petugas kesehatan yang berkunjung ke rumah.
Perdebatan yang lumayan sengit pun sempat aku lakukan sebagai bagian protesku atas
vonis yang diberikan. Tidak ada rangkaian tes yang dilakkukan,namun dengan
begitu mudahnya mencap gadis kecilku sebagai anak yang kurang gizi. Lagi-lagi
sempat aku merasa betapa dunia tak berpihak padaku.
Apakah parameter sehat hanya
dilihat dari porsi tubuhnya yang besar saja? (baca : gemuk). Sedangkan anakku
sangat sehat. Geraknya tetap lincah, celotehnya ramai, matanya berbinar terang,
hanya karena ia tak mampu berlari dan melakukan gerak motorik kasar lainnnya
selincah teman-teman kecilnya yang lain.
Bahkan kemampuan membacanya
jauh diatas anak-anak lain sebayanya. Hal-hal yang sempat kulontarkan tak cukup
mampu menghapus stiker anak kurang gizi yang akhirnya dilekatkan di jendela
rumah kami. Dan satu hal, sampai hari ini kemampuan motorik kasarnya tidak
sebaik teman-temannya yang lain. Serta telapak kakinya yang selalu tak pernah
hangat seperti umumnya yang lain.
Kini gadis kecilku itu telah
beranjak dewasa. Sekarang ia telah duduk dibangku kelas XII di sebuah aliyah di
kota kami. Sekarang kemampuannya dalam berliterasi baru sebatas keinginannnya
yang kuat dalam membaca. Buah dari apa yang aku tanamkan sejak kecil mulai
terlihat hasilnya.
Walau kemampuan literasinya
baru sebatas membaca dan memahami isi bacaan, namun ini sudah merupakan sebuah
karunia yang perlu aku syukuri selalu. Kegemaran membacanya sekarang terpatri dalam
koleksi novel-novel bacaannya yang sudah mulai menggunung.
Setiap bulan, saat ini sebisa
mungkin aku baru bisa memfasilitasi membeli dua hingga tiga novel. Novel dengan
ketebalan rata-rata 200 halaman telah menjadi sahabat setianya mengisi waktu.
Semoga kedepan, ia akan mampu menambah kemampuannya dalam berliterasi dengan
kemampuan menulis. Biarlah saat ini ia masih dalam taraf belajar membaca dan
membaca untuk belajar. Semoga kelak apa-apa yang pernah dibacanya akan menjadi
amnunisinya dalam menulis.
Setiap anak pasti akan
membawa ceritanya masing-masing. Sempat aku juga bertanya-tanya, mengapa anakku
berbeda dari yang lain..
Menyadarinya saja bukanlah
jalan keluar setelah kita mampu untuk menerima kenyataan yang ada. Kenyataan
bahwa anakku berbeda dari yang lain. Justru kemampuan kita untuk bangkit
mencari peluang untuk mengisi kekosongan yang ada adalah hal terbesar yang
harus segera kita lakukan berikutnya.
Setiap anak adalah anugerah,
setap anak akan membawa ceritanya masing-masing. Dan semua anak adalah karunia
hebat yang Tuhan berikan buat kita orang tuanya. Tak ada mahluk Tuhan yang
gagal. Justru ketidak tahuan kitalah yang sering mengkerdilkan beragam mahluk
ciptaan NYA.
Cerita sekelumit tentang
gadis kecilku tentu bukanlah apa-apa dibandingkan perjuangan ayah bunda hebat
lain yang ada diluar sana. Bergabung dalam komunitas dengan persamaan cerita
yang sama adalah salah satu solusi yang dapat kita peroleh untuk dapat
menguatkan peran yang tengah kita jalani.
Dan tentu nya ada sedikit
harapan yang kalau boleh terucapkan. Untuk ayah bunda yang tak pernah berada dalam
posisi kami, janganlah terlalu mudah dalam menjudge sesuatu yang belum tentu
tau secara detail bagaimana perjuangan kami. Kami pun tak mungkin mengkoarkan
apa yang memang telah menjadi tugas dan tanggung jawab kami.
Namun, sekali lagi itu hanyalah
harapan dari sedikit orang tua yang kebetulan punya anak yang istimewa. Semoga
dengan sedikit coretan ini, dapat lebih menyadarkan kita untuk lebih dapat
menjaga hati dari orang tua hebat seperti mereka.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar