Mejadi guru di sebuah madrasah yang berada di pinggiran kota kabupaten tentu banyak memberikan cerita-cerita tersendiri yang penuh warna. Anak-anak diusia yang tak ingin lagi disebut dengan anak-anak, tapi juga belum dewasa. Layaknya remaja pada umumnya, fase ini tentu sedikit banyak penuh akan kepelikan masalah yang tengah mereka hadapi. Butuh pengakuan dan diterima diantara sesama dan identitas jati diri merupakan hal penting yang biasanya menjadi permasalahan mereka.
Kondisi murid-murid penulis memang sedikit berbeda jika dibandingkan dengan kondisi murid-murid yang ada di wilayah kota Palabuhan ratu. Anak-anak umumnya sangat kental dengan pendidikan agama yang sudah mereka dapatkan sejak kecil. Aktivitas dimulai dari pagi ke sekolah seperti biasa, dan pulang dilanjut dengan kegiatan sekolah agama juga membantu orang tua. Hal semacam ini telah mereka lakukan semenjak kecil.
Diusia yang tengah beranjak dewasa, tentu sedikit banyak mulai merubah pola pikir dan tindakan yang mereka lakukan. Mulai berbaur dengan kalangan yang lebih luas, dan juga berinteraksi dengan berbagai macam guru yang ada di sekolah. Tentu hal ini sedikit berbeda ketika mereka masih ada di bangku sekolah dasar.
Penulis memang bukanlah sebagai guru BK ataupun wali kelas yang membimbing mereka secara intens. Penulis hanyalah seorang guru mata pelajaran saja. Namun dari pengamatan yang penulis lakukan, banyak anak-anak yang sepertinya tengah menyimpan prahara pelik tentang permasalahan yang tengah mereka hadapi.
Tidak ingin anak-anak salah dalam melangkah, ada satu hal yang dapat penulis lakukan sebagai seorang guru. Karena penulis berkeyakinan, sekalipun penulis bukanlah guru BK atau wali kelas mereka, tanggung jawab tetaplah sama. Bagi penulis, wali kelas hanyalah sebatas urusasn administrasi semata. Tetapi tangung jawab adalah milik bersama.
Dari beberapa hal yang penulis temuai di lapangan, terutama hasil klarifikasi dari orang tua, ada dua hal yang dapat penulis tarik sebagai sumber penyebab berkurangnya kedekatan hubungan antara anak dan orang tuanya. Yang pertama kesibukan orang tua dalam menacari nafkah, dan yang kedua anggapan anak-anak telah mandiri dan besar hingga tak perlu lagi perhatian yang intens dari orang tua.
Kondisi anak-anak yang penulis pahami adalah mereka sebagian besar tidak dekat dengan orang tuanya. Merasa anak sudah besar biasanya orang tua cenderung tidak sedekat lagi ketika anak-anak masih balita. Padahal sesungguhnya tetap saja sama. Justru kekhawatiran untuk anak-anak yang mulai beranjak gede ini semakin mengkhawatirkan.
Belum lagi alasan kesibukan orang tua yang acap kali penulis dengar. Dengan kesibukan yang mereka geluti dan dengan pemikiran anak-anak yang sudah tak perlu diawasi secara intens lagi justru membuat hubungan anak dan orang tua cenderung menjadi merenggang.
Akibat hubungan dengan orang tua yang cenderung tidak dekat, maka anak mencari sumber lain yang dirasa dapat membuatnya nyaman, dan bisa menerima dirinya dengan utuh. Maka selain orang yang paling memungkinkan adalah teman-teman sebayanya, utamanya yang ada di sekolah. Bukan tidak boleh, namun apabila anak sudah lebih percaya pada teman-temannya yang relatif seusia, maka kesenjangan bisa jadi makin bertambah.
Baik orang tua dan pihak anak hendaknya, sama-sama bertemu di tengah. Untuk dapat menyemakan pandangan, demi membina hubungan yang lebih baik. Menjadi orang tua kedua bagi anak-anak di sekolah sedikit banyak merupakan guru terbaik bagi penulis. Kembali belajar menyelami masa remaja kids jaman now, dan segala seluk beluk masalah yang tengah mereka hadapi.
Hal yang bisa penulis lakukan untuk membantu anak-anak yang tengah mempunyai masalah adalah salah satunya dengan berkomunikasi. Namun kenyataannya, tidak semua anak dapat mengungkapkan perasaan yang tengah dirasakannya dengan kata-kata yang langsung keluar dari mulut mereka.
Menuliskan surat buat guru pembimbing tentang suasana hati mereka pagi itu (alternatif menggali permasalahan yang terjadi juga sebagai sarana untuk membuka komunikasi dengan anak yang tidak selalu bisa secara gamblang mengungkapkan permasalahannya)
Setelah membaca coretan hati mereka, selanjutnya yang penulis lakukan adalah menganalisis tingkat masalah yang dihadapai para siswa. Memilah dan memilih dalam skala prioritas, mana hal yang harus terlebih dahulu untuk diselesaikan, membantu menyelesaikan lebih tepatnya. Karena segala hal, tentu mereka sendirilah yang akan menyelesaikannya.
Setelah mempelajari masalah-masalah yang dianggap penting, langkah selanjutnya yang penulis lakukan adalah mengajak bicara. Tentu dalam susasana dan waktu yang tepat pula. Jangan sampai, keinginan kita selaku guru yang akan membantu menyelesaikan atau mengurai masalah yang tengah mereka hadapi justru semakin membuat runyam keadaan.
Mendengarkan, tidak memotong pembicaraannya kecuali pihak anak yang meminta pendapat, dan tidak menggurui bahkan memarahinya adalah langkah tepat yang dapat kita lakukan untuk membangun tingkat kepercayaan pada anak. Setelah semua rangkaian proses kita jalani, baru bersama-sama mencari solusi alternatif atas permasalahan yang tengah mereka hadapi.
Biasanya penulis pun akan terlebih dahulu membuat sebuah kesepatan. Kesepakatan yang penulis maksud antara lain, tidak akan memaksa anak untuk menuruti semua yang akan penulis sampaikan dalam upaya membantu menyelesaikan permasalahannya. Hal ini semata penulis lakuakan demi menjaga tingkat kepercayaan anak.
Biasanya dengan tahapan yang penulis lakukan, justru anak akan dengan sendirinya meminta saran dan gambaran tentang apa saja yang harus mereka lakukan. Mencoba menempatkan diri dalam posisi menjadi anak. Toh..dalam hal ini tentu guru telah pernah memasuki fase ini.
Dari apa yang telah penulis lakukan memang bukanlah jaminan anak akan secara gamblang dapat menyelesaikan masalah yang tengah dihadapinya. Namun setidaknya, kehadiran guru sebagai orang tua kedua di madrasah telah dapat menggantikam posisi guru sebagai orang tua kedua bagi anak.
Penulis tidak ingin mengambil resiko untuk kehilangan kepercayaan dari anak. Beberapa kasus pernah penulis tangani sendiri tanpa melibatkan pihak manapun. Tentu hal ini mempunyai sisi kurang dan lebihnya sendiri.
Dengan adanya komunikasi yang penulis bangun, setidaknya ada beberapa hal yang dapat penulis catat. Diantaranya :
Dengan adanya gaya Anak setidaknya bisa menumpahkan uneg-uneg
yang dialaminya.
Ada tempat untuk anak-anak berbagi suka dan terutama duka atas
permasalahn yang tengah dialaminya.
Ada orang yang dapat dipercaya oleh anak terutama di lingkungan
sekolah sebagai rumah kedua dan orang tua kedua bagi anak.
Wujud upaya nyata dalam menerjemahkan madrasah ramah anak,
mengacu pada kaidah sekolah/madrsah yang ramah anak (Bersinar (bersih,
sehat, indah/inklusif, aman/nyaman, ramah).
Anak merasa nyaman dan aman berada di sekolah.
Anak tidak merasa sendiri dengan permasalahan yang dihadapinya.
Dan beberapa hal terkait dengan kondisi anak-anak apabila mereka tengah dirundung masalah adanya keinginan untuk :
• Tidak ingin dibanding-bandingkan dengan anak yang lain, dengan
sadaranya sekalipun.
• Memahami posisi anak yang memang ada dalam kesulitan/kesalahan,
untuk tidak makin diungkit kesulitan /kesalahannya.
• Ingin didengar semua apa yang mereka katakan.
• Mereka juga tengah belajar memahami apa yang orang tua inginkan.
• Mereka paham, pola pikir mereka masih dalam proses, sehingga tidak
ingin orag tua menuntut mereka berfikir layaknya seperti orang dewasa
yang telah matang pola pikirnya.
Mereka sangat paham, bahwa saat ini mereka masih dalam proses mencari jati diri. Butuh kawalan dan bimbingan yang menyejukkan, bukan sekedar menuntut, memarahi, apalagi memahami tanpa ada role model yang baik. Tentu dalam hal ini, peran oranng tua dan guru yang merupakaan role model yang mereka harapakan.
Semoga dengan segala pendekatan yang dapat penulis dan para guru lainnya yang telah dilakukan, dapat membantu anak dalam upaya menyelesaikan/menguarai masalah yang tengah mereka hadapi. Tanpa mengurangi rasa hormat, bagi penulis peran wali kelas bagi penulis adalah hanya sebatas peran administrasi saja. Tetap tanggung jawab moral ada pada pundak semua guru, termasuk keberadaan guru BK yang ada di sekolah.
Tidak ada maksud untuk mencampuri ranah pekerjaan ataupun ranah garapan bidang lain, semata-mata dilakukan atas nama panggilan hati dan jiwa selaku pendidik dan pengajar. Berharap tak ada ada lagi anak yang salah jalan dan salah kaprah dalam menyikapi persoalan yang ada. Sejatinya baik guru, orang tua dan siswa/anak tersediri adalah pembelajar sepanjang hayat. Tak ada batasan waktu untuk tidak belajar.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Belajar Menjadi Pribadi Yang Lebih Baik
#KMP3 Ramadhan baru saja usai. Seiring gema takbir yang berkumandang. Nuansa bahagia menyambut hari yang fitri. Berbagai penganan pun dihi...
-
Saya masih ingat dulu, bagaimana rumah kami yang notabene ada di desa saat menjelang lebaran. Jajaran stoples-stoples beling yang sudah lama...
-
Alhamdulillah, tahun ini masih diberi kesempatan menikmati ramadhan. Bulan penuh keberkahan yang tentunya pasti dinantikan oleh semua umat m...

Tidak ada komentar:
Posting Komentar